PEMBAHASAN
PERBBEDAAN PENDAPAT
TENTANG SAKSI DALAM AKAD NIKAH
A.
HUKUM
SAKSI DALAM AKAD NIKAH
Kehadiran
saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan
kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari
istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya)
dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan
jelek), seperti kumpul kebo. Kehadiran saksi dalam akad nikah, adalah sebagai
penentu sah akad nikah itu. Demikian pendapat para jumhur ulama.
Jadi, saksi menjadi syarat sah akad nikah.
1.
Pendapat Imam Malik.
Berbeda
dengan Imam Malik, kehadiran saksi dalam akad nikah tidaklah wajib,
tetapi cukuplah dengan pemberitahuan (diumumkan) kepada orang banyak. Namun
pemberitahuan itu sebelum mereka bercampur. Apabila kedua suami istri itu telah
bercampur sebelum disaksikan (diketahui) oleh orang lain, maka keduanya harus
dipisahkan (fasakh)[1].
Dalam
referensi lain, menurut Imam Malik: saksi hukumnya tidak wajib dalam
akad, tetepi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya (dukhul).
Maksudnya, kalau akad dilakukan dengan tanpa seorang saksi pun, akad itu
dipandang sah, tetapi bila suami bermaksud mencampuri istrinya, dia harus
mendatangkan dua orang saksi. Jika tidak didatangkan saksi, maka akadnya harus
dibatalkan secara paksa, dan pembatalan itu sama kedudukannya dengan talak bain[2].
Alasan yang dikemukakan Imam Malik, yaitu ada hadits yang dinilainya
lebih shahih, diantaranya : “ Diterima dari Malik ibn al-Mundzir, dia
berkata ‘ sesungguhnya Nabi SAW. Telah membebaskan shafiyah r.a. lalu
menikahkannya tanpa adanya saksi “ ( HR Al-Bukhari)[3].
Menurut
pendapat yang mu’tamad di kalangan Malikiyah (bukan Imam Maliki), saksi
menjadi syarat sah suatu perkawinan. Adapun yang menjadi dasarnya adalah hadits
dari Aisyah ra., Nabi berkata:
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
وَشَاهِدَى عَدْلٍ
Artinya
:
“Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang
saksi yang adil”. (HR. Dara Quthny dan Ibnu Majah).
2.
Pendapat Imam Syafi’i, Hanifi, dan Hambali.
Menurut
pendapat Imam Syafi’I, Hanafi, dan Hambali, mereka sepakat
bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi. Tetapi , Hanafi memandang
cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang
perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Berarti, akad nikah dianggap sah,
walaupun dihadiri oleh dua orang saksi yang fasik, sebab tujuan dari saksi itu
dihadirkan untuk memberitahukan pernikahan itu telah dilangsungkan. Namun
mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita sja tidak sah. Sedangkan Imam
Syafii dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua
saksi laki-laki, muslim dan adil, tidak boleh fasik[4].
Syafi’iyah dan Hanabilah mensyariatkan
laki-laki yang menjadi saksi. Sebagaimana sabda Nabi SAW. yang berbunyi:
اَنْ
لاَ يَجُوْزُ شَهَادَةُ النِسَاءِ فِى الْحُدُوْدِ, وَلاَ فِى النِكَاحِ, وَلاَ
فِى الطَّلاَقِ (رواه ابو عبيد)
Artinya :
“Wanita
tidak boleh menjadi saksi dalam masalah hudud (had), nikah dan talak” (HR. Abu
‘Ubaid)
Golongan
Hanafiyah tidak mensyariatkan laki-laki menjadi saksi. Mereka
berpendapat, saksi boleh dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua
wanita, sebagaimana fiman Allah al-baqarah ayat 282:
....(#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# ...... ÇËÑËÈ
Artinya :
“Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282) .
Berkenaan
dengan masalah ini Ibnu Abi Laila, Abu Tsaur dan Abu Bakar
al-‘Asham mengatakan, saksi tidak disyariatkan pada pernikahan, karena
ayat-ayat yang berhubungan dengan pernikahan, tidak menyebutkan saksi
sebagaimana ayat jual beli, utang piutang. Allah berfirman: an-Nisa:3 dan
an-Nur: 32
......(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# ..... ÇÌÈ
Artinya :
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
Firman Allah :
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur ... ÇÌËÈ
Artinya :
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. (QS. An-Nur 32).
Dalam
kedua ayat tersebut tidak disinggung mengenai saksi dalam pernikahan. Mereka
memandang bahwa saksi tidak menjadi syarat sah nikah, namun memberitahukan
pernikahan itu seperti resepsi dan acara lainnya hukumnya sunah.
B.
Saksi yang Diminta Merahasiakan
Akad Nikah
Dalam
kasus tertentu, untuk menutupi rahasia sering kali sebuah pernikahan itu
disaksikan oleh orang tertentu, namun kepada para saksi diminta untuk
merahasiakan pernikahan itu. Sebuah pernikahan tidak sah bila tidak disaksikan
oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan
jelas diharamkan dalam Islam. Dalilnya secara syar’i disebutkan oleh Khalifah
Umar RA. Dari
Abi Zubair Al-Makki bahwa Umar bin Al-Khattab RA ditanya tentang menikah yang
tidak disaksikan kecuali oleh seorang laki-laki dan seorang wanita. Maka beliau
berkata : ”Ini adalah nikah sirr, aku tidak membolehkannya. Bila kamu
menggaulinya pasti aku rajam. (Riwayat Malik dalam Al-Muwqaththo')
Dalam
masalah ini, para ulama mengatakan bahwa akad nikah itu hukumnya sah, namun
dengan karahah (dibenci). Sebab tujuan utama dari adanya persaksian itu tidak
lain adalah untuk mengumumkan. Maka meski akad itu sah namun tetap tidak
dianjurkan. Demikianlah sikap Umar RA, As-Sya'bi, Nafi', dan 'Urwah[5].
Sedangkan
dalam pandangan Imam Malik, pernikahan yang saksinya merahasiakan apa
yang disaksikan itu harus dipisahkan dengan talak. Dan menurut Hanabilah,
akad nikah itu tidak menjadi batal bila dirahasiakan oleh wali, saksi dan kedua
suami istri , dan hukumnya makruh. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Syafi’i,
tidak termasuk nikah sir, karena ada saksi dan hukumnya makruh[6].
C.
SYARAT-SYARAT
SAKSI
Orang yang menjadi saksi dalam
pernikahan, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berakal,Orang gila tidak dapat
dijadikan saksi.
b. Baligh, maka anak-anak tidak dapat
menjadi saksi, walaupun sudah mumaiyyiz (menjelang baligh), karena kesaksiannya
menerima dan menghormati pernikahan itu belum pantas. Kedua syarat tersebut
diatas dispakati oleh fukaha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua
saksi harus mukallaf.
c. Mendengar dan memahami ucapan ijab qabul
d. Laki-Laki, merupakan persyaratan
saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyah.
e. Bilangan Jumlah Saksi, menurut Hanafi dan Hambali dalam
riwayat yang termasyur: kesaksian seorang wanita saja dapat diterima. Maliki
dan Hambali dalam riwayat lainnya mengatakan: kesaksian dengan dua orang wanita
dapat diterima. Sedangkan menurut Syafi’i: tidak diterima kesaksian perempuan,
kecuali empat orang[7].
f. Adil, berarti saksi harus orang yang adil walaupun kita
hanya dapat melihat lahiriyahnya saja. Demikian pendapat para jumhur ulama
selain Hanafiyah.
g. Islam, dua orang saksi itu harus muslim, menurut kesepakatan
para ulama. Namun menurut Hanafiyah, ahli kitabpun boleh menjadi saksi seperti
kasus, seorang muslim kawin dengan wanita kitabiyah.
h. Melihat, Syafiiyah berpendapat saksi harus orang yang dapat
melihat. Sedangkan jumhur ulama, dapat menerima kesaksian orang yang buta asal
dia dapat mendengar dengan baik ijab qabul itu dan dapat membedakan suara wali
dan calon pengantin laki-laki.
D.
WAKTU
MENYAKSIKAN AKAD NIKAH
Jumhur
ulama selain Malikiyah berpendapat, bahwa kesaksian itu diperlukan saat akad
nikah, agar saksi itu mendengar saat ijab qabul. Lebih lanjut Hanafiyah
mengatakan, karena saksi termasuk rukun nikah, maka disyariatkan keberadaannya
pada saat akad nikah. Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwa saksi memang
menjadi syarat sah nikah, tetapi kehadirannya boleh saat akad nikah dan boleh
juga disaksikan pada waktu lain seperti resepsi, asal sebelum bercampur kedua
mempelai[8].
E.
HIKMAH
MENYAKSIKAN AKAD NIKAH
Saksi adalah sebagai penentu dan pemisah antara
halal dan haram. Perbuatan halal biasanya dilakukan secara terbuka dan
terang-terangan, karena tidak ada keraguan.sedangkan perbuatan haram biasanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Logikanya, sebuah pernikahan yang dilandasi oleh
cinta-kasih dan disetujui oleh kedua belah pihak, tidak perlu disembunyikan.
Bila tidak ada saksi pada saat akad nikah, maka akan ada kesan nikah itu dalam
keadaaan terpaksa atau ada sebab-sebab lainyang dipandang negatif oleh
masyarakat. Oleh karena itu, disunatkan mengadakan resepsi perkawinan
(walimatul ‘ursy)[9].
KESIMPULAN
Kehadiran
saksi pada saat akad nikah amat penting artinya, karena menyangkut kepentingan
kerukunan berumah tangga, terutama menyangkut kepentingan istri dan anak,
sehingga tidak ada kemungkinan suami mengingkari anaknya yang lahir dari
istrinya itu. Juga supaya suami tidak menyia-nyiakan keturunannya (nasabnya)
dan tidak kalah pentingnya adalah menghindari fitnah dan tuhmah (persangkaan
jelek), seperti kumpul kebo.
Kehadiran
saksi dalam akad nikah, adalah sebagai penentu sah akad nikah itu. Saksi
menjadi syarat sah akad nikah. Berbeda dengan Imam Malik, kehadiran
saksi dalam akad nikah tidaklah wajib, tetapi cukuplah dengan pemberitahuan
(diumumkan) kepada orang banyak. Menurut pendapat yang mu’tamad, saksi menjadi
syarat sah suatu perkawinan.
Adapun
syarat-syarat saksi yaitu: Berakal, baligh, mendengar dan memahami ucapan ijab
qabul, laki-Laki, ada bilangan jumlah saksi, adil, beragama Islam, dan dapat
melihat proses akad tersebut
DAFTAR
PUSTAKA
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, ( Jakarta: Grafindo
Persada, 1997 )
M. Jawad Mughniyah, Fiqih
Lima Mazhab, (Jakarta: Lentara, 2007)
http://my.opera.com/Boecharyst%20M.Kasim/blog/2008/04/20/rukun-nikah-saksi.
diakses tgl 08/12/2012
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/1746652-saksi-akad-nikah-menurut-imam/#ixzz2EO0UN3JP diakses tgl 08/12/2012
[1] M. Ali Hasan, Perbandingan
Mazhab Fiqih, ( Jakarta: Grafindo Persada, 1997 ), Hlm: 145
[2] M. Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentara,
2007), Hlm: 314
[5]
http://my.opera.com/Boecharyst%20M.Kasim/blog/2008/04/20/rukun-nikah-saksi.
diakses tgl 08/12/2012
[6] M. Ali Hasan, Ibid, Hlm: 147
[8] M. Ali Hasan, Op.cit, Hlm: 152
[9] Ibid, Hlm: 153
mantap gan infonya. kereeeennn
BalasHapusSouvenir Pernikahan Murah Kediri